Histori

Sejarah Berdirinya Nahadatul Ulama (NU)

Sejarah Kelahiran NU

Nahdlatul Ulama’, disingkat NU, artinya kebangkitan ulama’. Sebuah organisasi
yang didirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926/ 26 Rajab 1344 H
di Surabaya. Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan
pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif
Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz
bin Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan
melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berjalan
berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi.
Pengamalan agama dengan dengan system bermadzhab, tawasul, ziarah kubur,
maulid Nabi dan lain sebagainya, akan segera dilarang.

Tidak hanya itu, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh
kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia
berencana meneruskan kekhilafan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya
daulah Utsmaniyyah. Untuk itu dia berencana menggelar Muktamar Khilafah di
Kota Suci Makkah, sebagai penerua Khilafah yang terputus itu.
Seluruh negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri muktamar
tersebut, termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang direkomendasikan adalah HOS
Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab
Chasbullah (pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik diantara kelompok
yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alas an Kiai Wahab tidak
mewakili organisasi resmi, maka namanya dicoret dari daftar calon utusan.
Peristiwa itu menyadarkan para ulama’ pengasuh pesantren akan pentingnya
sebuah organisasi. Sekaligus menyisahkan sakit hati yang mendalam, karena
tidak ada lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan rencana Raja Ibnu Saud
yang akan mengubah model beragama di Makkah. Para ulama’ pesantren sangat
tidak bisa menerima kebijakan raja yang anti kebebasan bermadzhab, anti mauled
Nabi, anti ziarah makam dan lain sebagainya. Bahkan santer terdengar berita
makam Nabi Muhammad SAW pun berencana digusur.
Bagi para kyai pesantren, pembaruan adalah suatu keharusan. KH. Hasyim
Asy’ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan para kaum modernis
untuk menghimbau umat Islam kembali pada ajaran Islam murni. Namun Kyai Hasyim
tidak bisa menerima pemikiran mereka yang meminta umat Islam melepaskan diri
dari system bermadzhab.
Disamping itu, karena ide pembaruan dilakukan dengan cara melecehkan,
merendahkan dan membodoh-bodohkan, maka para ulama’ pesantren menolaknya. Bagi
mereka, pembaruan tetap dibutuhkan, namun tidak dengan meninggalkan khazanah
keilmuan yang sudah ada dan masih relevan. Karena latar belakang yang mendesak
itulah akhirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ didirikan.
Pendiri resminya adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asyari, pengasuh
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak
sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah,
pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas, Jombang. Kiai Wahab adalah
salah seorang murid utama Kiai Hasyim. Ia lincah, energik dan banyak akal.

Susunan pengurus PBNU yang pertama (1926) :

Syuriah:

  • Rais Akbar : KH. M. Hasyim Asy’ari (Jombang)
  • Wakil rais Akbar : KH. Dahlan Ahyad, Kebondalem (Surabaya)
  • Katib Awal : KH. Abdul Wahab Chasbullah (Jombang)
  • Katib Tsani : KH. Abdul Chalim (Cirebon)

A’wan :

  • KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
  • KH. Ridwan Abdullah (Surabaya)
  • KH. Said (Surabaya)
  • KH. Bisri Syansuri (Jombang)
  • KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
  • KH. Nahrowi (Malang)
  • KH. Amin (Surabaya)
  • KH. Masykuri (Lasem)
  • KH. Nahrowi (Surabaya)

Mustasyar :

  • KH. R. Asnawi (Kudus)
  • KH. Ridwan (Semarang)
  • KH. Mas Nawawi, Sidogiri (Pasuruan)
  • KH. Doro Muntoho (Bangkalan)
  • Syeikh Ahmad Ghonaim al-Misri (Mesir)
  • KH. R. Hambali (Kudus)

Tanfidziyyah:

Ketua : H. Hasan Gipo (Surabaya)
Penulis : M. Sidiq Sugeng Judodiwirjo
(Pemalang)
Bendahara : H. Burhan (Gresik)
Pembantu : H. Soleh Sjamil
(Surabaya)

  • H. Ichsan (Surabaya)
  • H. Dja’far Alwan (Surabaya)
  • H. Utsman (Surabaya)
  • H. Ahzab (Surabaya)
  • H. Nawawi (Surabaya)
  • H. Dachlan (Surabaya)
  • H. Mangun (Surabaya)

Organisasi Nahdltul Ulama’ didirikan dengan tujuan untuk melestarikan,
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan
menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali).
Bahkan dalam Anggaran Dasar yang pertama (1927) dinyatakan bahwa organisasi
tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu
madzhab empat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan kala itu antara lain :

  1. Memperkuatpersatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab.
  2. Memberikkan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada
    lembaga-lembaga pendidikan Islam.
  3. Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat.
  4. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya.
  5. Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok pesantren.
  6. Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.

Dalam pasal 3 Statuten Perkumpulan NU (1933) disebutkan:
“Mengadakan
perhubungan diantara ulama’-ulama’ yang bermadzhab, memeriksa kitab-kitab
apakah itu dari kitab Ahlussunnah Waljama’ah atau kitab-kiitab ahli bid’ah,
menyiarkan agama Islam dengan cara apa saja yang halal; berikhtiar
memperbanyak madrasah, masjid, surau dan pondok pesantren, begitu juga dengan
hal ikhwalnya anak yatim dan orang-orang fakir miskin, serta mendirikan
baddan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, yang tidak dilarang
oleh syara’ agama Islam”.

Perjalanan Nahdlatul Ulama’

1) 1926 – 1942

Berdiri di Surabaya atas nama perkumpulan para ulama’. Pada masa ini
perjuangan dititik-beratkan pada penguatan paham Ahlussunnah Waljama’ah
terhadap serangan penganut ajaran Wahabi. Diantara program kerjanya adalah
menyeleksi kitab-kitab yang sesuai/tidak sesuai ajaran Ahlussunnah Waljama’ah.
Di samping melakukan penguatan persatuan diantara para kyai dan pengasuh
pesantren.
Pada tahun 1937, empat orang tokoh pergerakan Islam berkumpul
di Surabaya untuk mendirikan federasi organisasi Islamm. Mereka adalah KH.
Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Dahhlan Ahyad (keduuanya dari NU), KH. Mas
Mansur (Muhammadiyah) dan Wondoamiseno (Sarekat Islam). Pertemuan menyepakati
berdirinya Majlis Islam A’la Indonesia, disingkat MIAI.

Selain KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Dahlan Ahyad yang tercatat
sebagai salah seorang pendiri MIAI, dalam perjalanan selanjutnya KH. A. Wachid
Hasyim terpilih sebagai Ketua Dewan MIAI – jabatan tertinggi yang ada dalam
organisasi itu. Ketika putera Hadratus Syeikh KH. M Hasyim Asy’ari itu
mengundurkan diri, posisinya digantikan oleh KH. M. Dahlan, yang juga tokoh
NU. Selain mereka, terdapat juga nama KH. Zainul Arifin, yang menjabat Ketua
Komisi Pemberantas Penghinaan Islam dan KH. Machfudz Siddiq dalam Komisi Luar
Negeri MIAI. Peranan para tokoh NU sangat dominan dalam menentukan perjalanan
MIAI.
Namun ketika Jepang datang (Maret 1942), semua organisasii social
kemasyarakatan dan organisasi politik di Indonesia dibekukan. Termasuk NU dan
MIAI. Bahkan Rais Akbar NU KH. M. Hasyim Asy’ari dan Ketua Umum PBNU KH.
Machfudz Siddiq ditahan oleh Jepang.

2) 1942 – 1945

Ketika ormas-ormas dibekukan oleh Dai Nippon, perjuangan para kiai NU
difokuskan melalui jalur diplomasi. Tahun 1942, K.H. A.Wachid Hasyim dan
beberapa kiai masuk sebagai anggota Chuo Sangi-In(parleman Jepang). Lewat
parlemen itu pula KH. A. Wachid Hasyim meminta agar pemerintahan balatentara
Jepang mengijinkan NU dan Muhammadiyah diaktifkan kembali. Pada bulan
September 1943, pemerintaan itu baru dikabulkan. NU dan Muhammadiyah bisa
beraktivitas kembali seperti di masa penjajahan Belanda.

Perjuangan diplomasi terus ditingkatkan. Pada akhir Oktober 1943, atas
prakarsa NU dan Muhammadiyah pula,didirikan wadah perjuangan baru bagi umat
Islam bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi, dengan KH.
A. Wachid Hasyim Asy’ari sebagaian pimpinan tertinggi. Sedangkan K.H.A.Wachid
Hasyim duduk sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIA yang
dibubarkan oleh balatentara Jepang.
Ketika pemerintahan balatentara Jepang meminta para pemuda Islam
Indonesia bergabung menjadi prajurit pembantu tentara Jepang(Heiho), KH. A.
Wachid Hasyim atas nama pemimpin Masyumi, justru meminta agar jepang melatih
kemiliteran pemuda Islam secara khusus dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944,
permintaan itu dikabulkan dengan dibentuknya Hizbullah. Mereka dilatih
kemiliteran oleh para komandan PETA dengan pengawasan prajurit Jepang.
Bertindak sebagai Panglima Tertinggi Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin dari
NU.
Sejak itu pesantren-pesantren berubah menjadi markas pelatihan
Hizbullah. Para santri menjadi prajurit dan para Gus (putra kiai) menjadi
komandannya. Sedangkan para kiai sebagai penasehat spiritual sekaligus penentu
kebijakannya. Sementara di bidang politik, selain aktif dalam pucuk pimpinan
masyumi, KH. A. Wahid Hasyim juga duduk sebagai Pimpinan Tertinggi Shumubu
(Departemen Agama), menggantikan KH. M. hasyim Asy’ari yang berhalangan untuk
berkantor di Jakarta.

3) 1945 – 1952

Ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
dibentuk pada 29 April 1945, KH. A. Wahid Hasyim duduk sebagai salah satu
anggotanya. Begitu juga dengan KH. A. Wahab Chasbullah, KH. Masjkur dan KH.
Zainul Arifin. KH. A. Wahid Hasyim bergabung sebagai anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia juga tercatat sebagai salah seorang perumus
dasar Negara dan turut serta sebagai penanda tangan Piagam Jakarta, bersama
delapan orang lainnya.

Disaat belanda datang lagi dengan membonceng tentara sekutu sambil
mengultimatum agar pejuang Indonesia menyerah, NU mengeluarkan Fatwa Jihad
pada 22 Oktober 1945. Fatwa yang dikenal dengan Resolusi Jihad Nahdlatul
Ulama’ itu mampu membakar semangat perjuangan kaum muslimin. Mereka tidak
gentar menghadapi kematian karena perang tersebut dihukumi Perang Sabil
(perang agama). Setelah Indonesia merdeka, banyak tokoh NU menduduki jabatan
penting dalam pemerintahan.

  1. Dalam Kabinet Presidensil (2 September 1945), KH. A. Wahid Hasyim duduk
    sebagai Menteri Negara.
  2. Dalam Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946), KH. Fathur Rahman Kafrawi
    duduk sebagai Menteri Agama dan KH. A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang
    Menteri Negara.
  3. Dalam Kabinet Amir Syarifuddin II (1947), KH. Masjkur sebagai Menteri
    Agama.
  4. Dalam Kabinet Hatta I, Kabinet Hatta II dan Kabinet Susanto (1948-1949),
    KH. Masjkur Sebagai menteri Agama.
  5. Dalam Kabinet RIS (20 Desember 1949 – 3 April 1952), KH. A. Wahid Hasyim
    Sebagai Menteri Agama.

Sementara dalam dunia kemiliteran, sejak tahun 1947 seluruh lasykar dibubarkan
pemerintah, digabung menjadi satu dalam wadah Tentara Nasional
Imdonesia(TNI).banyak tokoh NU yang telah lama aktif dalam Hizbullah bergabung
ke dalam TNI.mereka turut memper kuat barisan angkatan perang yang baru lahir
itu

4) 1952 – 1973

Lewat Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 1952, NU menjadi partai politik
sendiri, setelah sekian lama bergabung dalam Masyumi kekuatan NU yang
sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata muncul kekuatan yang sangat besar.
Dalam pemilu pertama 1955, partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI
dan Masyumi  Banyak tokoh NU menduduki posisi penting dalam pemerintahan,

  • DalamKabinet Ali Sastroamijoyo I, KH. Zainul Arifin sebagai Wakil Perdana
    Menteri, KH. Masjkur sebagai Menteri Agama dan Muhammad Hanafiah sebagai
    Menteri Agraria.
  • Dalam Kabinet Burhanuddin Harahap, Sunaryo, SH menjadi Menteri Dalam
    Negeri dan KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama.
  • Dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo II, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Wakil
    Perdana Menteri, Sunaryo, SH sebagai Menteri Dalam Negeri, Mr Burhanuddin
    sebagai Menteri Perekonomian, Kh. Fattah yasin sebagai Menteri Sosial dan
    KH. Ilyas sebagai menteri Agama.
  • Dalam Kabinet Karya, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri,
    Prof. Drs. Sunarjo sebagai menteri Perekonomian yang kemudian digantikan
    oleh Drs. Rahmat Mulyomiseno, KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama dan
    Sunaryo, Sh sebagai Menteri Agraria.
  • Dalam Kabinet Kerja, KH. A. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama kemudian
    digantikan oleh KH. Saifuddin Zuhri, KH. Fattah Yasin sebagai Menteri
    Penghubung Alim Ulama’ dan H. M. Hasan sebagai Menteri PPP.
  • Dalam Kabinet Dwikora, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra, KH.
    Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama, KH. Fattah Yasin sebagai Menteri
    Penghubung Alim Ulama’ yan kemudian digantikan oleh KH. M. Ilyas dan H.
    Aminuddin Aziz sebagai Menteri Negara.
  • Dalam Kabinet Ampera, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra dan KH.
    Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama.
  • Dalam Kabinet Pembangunan I, KH. M. Dahlan sebagai Menteri Agama dan Dr.
    KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra.

Selain berkiprah dalam pemerintahan, pada masa ini banyak juga tokoh NU yang
menduduki posisi pimpiman dalam Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara.
Mereka adalah:

  • KH.Zainul Arifin, menjadi Ketua DPR-GR (1962 – 1963).
  • HM.Subchan ZE, Wakil Ketua MPRS (1966 – 1971).
  • KH. A. Syaichu, Ketua DPR-GR (1966 – 1971).
  • Dr. KH. Idham Chalid, Ketua MPR-DPR RI (1971 – 1978).

Di samping banyak tokoh NU menempati posisi strategis dalam Kabinet, Lembaga
Tinggi Negara, banyak juga yang diangkat Duta Besar RI di luar Negeri.

5) 1973 – 1984

Sejak Tahun 1973, Pemerintah Orde Baru ‘menerbitkan’ partai-partai peserta
pemilu. Dari 10 peserta pemilu 1971, disederhanakan menjadi dua partai:
partai-partai yang berazas nasionalis dileburkanke dalam partai Demokrasi
Indonesia (PDI), sedangkan partai-partai yang berazas islami dileburkan ke
dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai NU tidak diakui lagi, dan
diharuskan melebur kedalam PPP. Sedangkan Golongan Karya (Golkar), tidak
diakui sebagai partai lagi,tapi diperbolhkan sebagai salah satu peserta
pemilu.

Pada masa ini tokoh NU ‘dibersihkan’ dari pemerintahan. Bahkan Menteri
Agama yang sejak awal langganan tetap NU pun diberikan orang lain. Para tokoh
NU juga dikikis habis dari berbagai jabatan di pemerintahan. Hanya dua orang
yang diberi posisi penting, yaitu KH. Masjkur sebagai Wakil Ketua MPR-DPR RI
(1977 – 1983) dan KH. Idham Chalid sebagai Dewan Pertimbangan Agung (1977 –
1982).
Dalam kancah politik maupun pemerintahan, para tokoh NU benar-benar
dipinggirkano oleh pemerintah Orde Baru yang didukung penuh oleh TNI dan
POLRI. Dalam dua kali pemilu (1977 dan 1982) banyak tokoh NU masuk penjara
dengan aneka macam tuduhan.Sebagai dampak langsung dari sifat represif
pemerintah kala itu, banayak Cabang NU besrta Badan Otonmnya di daerah tidak
aktif. Pengurusnya ketakutan.

6) 1984 – 1998

Lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984, NU memasuki babak baru.
Setelah malang melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, akhirnya
NU kembali ke jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Preristiwa
itu dikenal dengan istilah kembali ke Khittah 1962. NU telah lepas dari
politik praktis dan kembali ke jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang
mengurusi dakwah dan keagamaan.

Dalam dua kali pemilu kemudian (1987 dan 1992), banyak tokoh NU yang
menjadi penggembosan PPP. Selain karena paktor pribadi, aksi itu terjadi
karena ekses dari campur tangan pemerintah Orde Baru pada partai politik yang
begitu mendalam. Amat adanya unsur adu domba antara kelompk NU dan MI dalam
kelom PPP. Akibat dari unsure besar-besaran itu, PPP benar-benar gembos.
Perolehan suaranya merosot tajam.
Sementara itu NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah
sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan. Pengajian-pengajian mulai
masuk ke unit-unit pemerintahan.Hubungan ke pemerintah yang telah sekian lama
terputus dirajut kembali sedikit demi sedikit. Satui persatu Cabang dan
ranting yang mati dihidupkan kembali.Di sisi lain, nama NU semakin dikenal di
luar Negeri. Beberapa kali Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid mendapat
penghargaan. Bahkan untuk pertama kalinya Ketua Umun PBNU terpilih sebagai
salah satu presiden Agama-agama di dunia(WRCP).

7) 1998 – 2004

Ketika terjadi euphoria pasca jatuhnya Presiden Soeharto dan terbukanya Orde
Reformasi dalam dunia politik (1998), NU kembali masuk kembali ke dalam kancah
politik praktis. PBNU memfasilitasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
pada 23 Juli 1998. Mau tak mau partai baru ini menyeret NU ke dalam permainan
politik lagi.

Untuk pertama kalinya, Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
terpilih sebagai Presiden Replubik Indonesia keempat, 1999. Mau tak mau
naiknya Gus Dur sebagai presiden membawa dampak psikologis bagi NU. Euforia
kemenangan masuk ke berbagai lini. Banyak tokoh NU yang semula terpinggirkan
kembali masuk ke pemerintahan. Namun ketika Gus Dur dijatuhkan lewat
impeachment DPR pada 2003, dampaknya juga sangat dirasakan oleh NU dan PKB.
Posisi NU terasa goyang dimana-mana. Meski Wakil Presiden dijabat oleh Hamzah
Haz yang juga orang NU, namun tetap tidak banyak memberikan perubahan. Posisi
itu semakin diperburuk dengan gonjang ganjing dalam tubuh PKB. Bahkan partai
itu terbelah menjadi dua.

8) 2004 – sekarang

Lewat muktamarnya yang ke-31 di Donohudon, Solo pada 2004, Nu meneguhkan
kembali jati dirinya untuk keluar dari politik praktis dan kembali ke jalan
Khittah sebagaimana yang pernah diputuskan dalam muktamar ke-27 di Situbondo
pada 1984. Perjuangan Nu lebih difokuskan pada peningkatan kualitas
pendidikan, ekonomi dan dakwah. Sementara dalam politik praktis NU menjaga
jarak yang sama terhadap semua partai politik.

Pada masa ini nama NU semakin dikenal di luar negeri. Bahkan telah
menbuka Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di beberapa negara. Tak kurang dari PCI
Amerika, Australia, Inggris, Jepang, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan lain
sebagainya telah didirikan. Sedikit demi sedikit para mahasiswa NU dikirim
untuk belajar ke luar negeri, dengan biaya ataupun fasilitas dari PBNU.
Pada tahun 2004 NU memprakarsai berdirinya International Conference of
Islamic Scholars (ICIS, Konferensi Internasional Cendekiawan Islam) di
Jakarta. ICIS adalah sebuah organisasi Islam yang beranggotakan ulama’-ulama’
moderat sedunia. Lewat ICIS itu pula nama Nahdlatul Ulama’ semakin dikenal di
pentas dunia sebagai pelopor gerakan Islam moderat, hingga sekarang.